Sabtu, 05 Maret 2011

kebudayaan suku tapanuli


Suku Tapanuli (Batak Toba)
v Sejarah  Tapanuli
Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, asal orang Batak Toba dimulai dari Si Raja Batak (leluhur orang batak) yang bermukim di Kaki Pusuk Buhit, terletak di sebelah barat Pulau Samosir. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatean Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatean Bulan mempunyai 4 (empat) orang putra yakni Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi, dan sungkar Somalindang.
Kemudian keturunannya ini berpencar mendiami daerah-daerah tertentu di Sumatera Utara, terutama berdiam di kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan parapat), pulau Samosir, Pakkat serta Sarulla.
v Kekerabatan Suku Tapanuli
Masyarakat Tapanuli atau Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilinieal. Orang Batak Toba mempunyai marga (nama keluarga) yang biasanya dicantumkan diakhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.
Aspek Kehidupan Tapanuli dikelompokkan dalam 9 (sembilan) nilai budaya kekerabatan, yaitu:
1.    Kekerabatan yang mencakup hubungan kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Dalihan Natolu merupakan ikatan kekerabatan adat istiadat pada masyarakat Tapanuli. Falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Tapanuli.
2.    Religi, mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.
3.    Hagabeon, banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur Matua Bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
4.    Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang member dorongan kuat untuk meraih kejayaan.
5.    Hamoraon, kaya raya salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak Toba atau Tapanuli untuk mencari harta benda yang banyak.
6.    Hamajuon, kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat mendorong orang Batak Toba bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.
7.    Hukum, nilai hukum (patik dohot dan uhum), budaya menegakkan kebenaran, merupakan budaya yang harus dipegang oleh Batak Toba.
8.    Pengayoman, dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak Toba kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayoman, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
9.    Konflik, sumber konflik pada orang Batak Toba atau Tapanuli menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya. Antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Batak Toba.
v Upacara-upacara Adat Pada Suku Tapanuli
Jenis upacara adat Tapanuli dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus.
Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/ celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Tapanuli.
Beberapa upacara adat antaranya: mangganje (kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan yang dijumpai pada masyarakat Tapanuli di mampe goar (permandian dan pemberian nama), manulangi (menyulangi), hamatean (kematian), dan mangongkal holi (menggali tulang belulang).
a.    Upacara Kehamilan (Mangganje)
Sebelum si Ibu melahirkan, orangtua dari si Ibu sebaiknya memberikan makanan adat batak berupa ikan batak jenis ikan Mahseer dari genus Tor (Dekke Jurung-jurung) dan ulos tondi dengan tujuan agar si Ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara. Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba sanak saudara memanggil “Si Baso” (dukun). Dukun beranak akan memberikan obat agar si Ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut salusu. Salusu adalah satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan, selesai didoakan dihembus, kemudian dipecah lalu diberikan kepada si ibu untuk ditelan.
b.    Upacara Kelahiran (Mangharoan)
Setelah si Ibu melahirkan si baso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat dengan ukuran 3 jari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi menurut orang Batak Toba biasa ditanam di tanah yang becek (sawah). Ari-ari dimasukkan dalam tandok kecil yang dianyam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut dan 7 lembar daun sirih. Setelah bayi lahir si dukun memecahkan kemiri dan mengunyahnya kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan untuk membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan perjalanan pencernaan makanan yang pertama yang disebut tilan (kotoran pertama).
Si dukun memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam bersama soit dan hurungan tondi. Soit adalah sebuah anyaman kalung yang terdapat dari buah sebuah kayu. Hurungan Tondi adalah buah kayu yang bernama kayu Hurungan Tondi, buah kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angin, petir dan seluruh setan jahat.
Untuk perawatan Ibu yang baru melahirkan, diberikan makanan dugu-dugu. Dugu-dugu adalah sebuah makanan ciri khas Batak Toba pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Makanan ini berfungsi untuk melancarkan peredaran darah bagi si Ibu yang baru melahirkan membersihkan darah kotor bagi Ibu yang melahirkan menambah, menghasilkan air susu Ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui ASI kepada anaknya.
c.    Upacara Permandian dan Pemberian Nama (Martutu aek)
Upacara yang dilakukan di rumah yang mendapat kelahiran seorang anak, atau pemberian nama kepada anak. Upacara ini dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir, dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang disebut dengan pesta martutu aek yang dipimpin oleh pimpinan agama yaitu ulu punguan.
Sebelum dibawa bepergian bayi tersebut harus terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air untuk membersihkan dan ini dilaksanakan dengan membawa anak tersebut ke umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa. Setelah bayi dimandikan biasanya dipupus. Pupus adalah mengunyah 1 lembar daun sirih, 1 buah kemiri, 1 biji ladak putih,1 iris jarango.
Selesai dikunyah ditempelkan ke ubun-ubun bayi dan sebahagian diolesi keseluruh tubuh bayi dengan tujuan untuk memelihara tubuh bayi agar kuat dan tetap sehat, untuk menjauhkan bayi dari penyakit-penyakit demam, angin-angin dan sekaligus mengobatinya, untuk menjaga agar tidak mudah terserang penyakit.
Pada upacara itu anak juga mendapat ulos parompa. Ulos ini diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk menggendong bayi itu.
d.   Upacara Menyulangi/Memberi Makan (Manulangi)
Sebelum orang mati, upacara adat yang dilakukan oleh keturunannya dinamai “manulangi” (memberi makan, menyulangi). Upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan seorang yang sudah tua dan diperkirakan tidak lama lagi akan meninggal, sehingga jika orang tersebut sudah meninggal rohnya dapat memasuki persekutuan dengan roh-roh leluhurnya dengan selamat. Upacara ini dilakukan kepada seseorang yang akan meninggal dalam dalam kondisi minimal sarimatua (telah memiliki cucu laki-laki dan perempuan).
e.    Upacara Kematian (Hamatean)
Upacara kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah pengurasan jenazah menjelang pemakaman, kedua adalah pasahat tondi. Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh Ihutan atau Ulupunguan dengan upacara doa “Borhat ma ho tu habangsa panjadianmu”, artinya berangkatlah engkau ke tempat kejadianmu. Satu minggu setelah pemakaman, keluarga yang ditinggal mengadakan pangurason di rumah. Satu bulan setelah pemakaman, dilanjutkan dengan Upacara Pasahat Tondi yaitu upacara mengantar roh dalam hati harfiah.
Dalam tradisi Tapanuli, orang yang meninggal perlakuan khusus, dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian akan mengalami tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal.
Meninggal ketika masih di dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati), tetapi jika meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal ketika anak-anak (mate dakdanak), meninggal ketika remaja (mate bulung), dan meninggal ketika sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak Toba) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tua yang meninggal sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) yang meninggal.
Upacara adat kematian akan berbeda, jika telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu), telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kimpoi, namun belum bercucu (mate hatungganeon), telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara adat kematian suku Tapanuli, karena meninggal ketika semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi di atasnya, yaitu mate saur matua bulung (meninggal ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan).
f.     Upacara Menggali Tulang-Belulang (Mangokal Holi)
Dalam adat Tapanuli, status kehormatan yang dimiliki oleh suatu roh tidaklah bersifat statis. Status dan kehormatan dapat ditingkatkan lagi lebih ke atas. Peningkatan kemuliaan akan didapatkan oleh roh itu apabila dia memiliki status “sumangot”. Status sumangot akan dimilikinya apabila para keturunannya telah membuatkan sebuah makan permanen yang dipahat dari batu atau dibuat dari semen yang kemudian dihiasi dengan keramik dengan segala kemegahannya.
Di tempat yang baru itu kemudian dimasukkan tulang belulang. Tulang-belulang itu digali dari kuburan di dalam tanah melalui upacara yang dinamakan “mangongkal holi ” (menggali tulang belulang). Acara ini ditandai dengan pelaksanaan pesta yang besar. Penaikkan tulang-belulang dari dalam tanah kepada tempat yang tersedia dimakam batu itu merupakan lambang pemberian penghormatan yang lebih tinggi kepada roh orang tua. Kemegahan sebuah kuburan merupakan lambang kemuliaan yang diterima oleh roh orang tua di dunia orang mati. Bagi keturunannya, kemegahan makam itu merupakna simbol gengsi sosial di tengah-tengah masyarakat Batak Toba lainnya. Kuburan itu juga merupakan tanda ikatan persekutuan antara roh orangtua dengan keturunannya.
Di dalam pelaksanaan upacara adat Tapanuli ada alat penyembahan yang selalu harus dipakai untuk menyempurnakan upacara tersebut yaitu “Ulos”.
Ulos adalah kain untuk upacara dengan berbagai fungsi dan tenunannya. Jaman dahulu ulos Batak Toba selalu diawali dengan permohonan kepada seorang ahli tenun untuk membuatkan satu jenis ulos tertentu. Si pemesan harus menyediakan tiga lembar daun sirih serta tiga rupa “itak” (tepung beras yang dikepal) yang tiga warna (putih, kuning, merah) ditempatkan dalam bakul kecil beserta uang enam rupiah batu. Sesajian (sesajen) ini didoakan secara animistis barulah ditentukan hari yang baik untuk memulai menenun ulos itu. Tetapi sekarang pembuatan ulos sama dengan pembuatan pakaian, tidak ada mantra-mantra atau sesajen.
Menurut fungsinya dalam upacara adat Tapanuli dikenal bermacam-macam ulos dengan kegunaannya, antara lain:
-       Ulos Tondi. Ulos yang dipakaikan kepada seorang calon ibu yang mengandung tujuh bulan bayi pertamanya. Dengan dipakaikan ulos tondi ini, diharapkan bayi itu lahir dengan selamat. Ulos tondi adalah jaminan keselamatan ibu dan bayi.
-       Ulos Parompa. Ulos yang diberikan kepada bayi yang baru lahir. Ulos ini diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk menggendong bayi itu.
-       Ulos Sampetua. Ulos yang diberikan kepada seseorang yang baru saja mengalami musibah atau sakit berat, dengan harapan agar ia berusia lanjut.
-       Ulos Saput. Ulos yang diberikan khusus pada acara kematian, biasanya digunakan untuk menutupi peti mati.
-       Ulos Tujung. Ulos yang diberikan kepada seorang perempuan yang suaminya baru meninggal, dikenakan selama jangka waktu tertentu.
-       Ulos Holong. Ulos yang diberikan kepada anak yang baru lahir setelah proses pemandian.

2.3    Pelaksanaan Tugas Kesehatan pada Keluarga Suku Tapanuli
Praktek kesehatan keluarga kepercayaan kuno Tapanuli adalah syamaisme, yaitu suatu kepercayaan dengan melakukan pemasukan roh ke dalam tubuh seseorang sehingga roh itu dapat berkata-kata. Orang yang menjadi perantara disebut Shaman. Shaman bagi orang Tapanuli disebut Si Baso (dukun wanita). Ketika Baso ini berkata-kata, bahasanya harus ditafsirkan secara khas.
Pembicaraan inilah yang dipercayai akan menjadi pentunjuk bagi orang untuk pengobatan dan ramalan. Selain Baso, ada juga yang memegang peranan penting yaitu Datu, biasanya seorang laki-laki. Berlainan dengan Baso, Datu di dalam kegiatannya tidak hanya menjadi perantara, melainkan langsung berbicara dengan roh. Datu bertugas mengobati orang sakit.
Menurut kepercayaan orang Tapanuli, apabila seseorang jatuh sakit, tondi (roh) si sakit pergi kesuatu tempat meninggalkan tubuhnya. Karena tondi itu pergi, orang tersebut jatuh sakit, agar orang yang sakit dapat sembuh, tondi nya harus dipanggil kembali agar masuk ke dalam tubuh orang sakit tersebut (Tondi Mulak Tu Badan). Jika tondi itu sudah dipanggil berulang-ulang tidak pulang juga, berarti orang tersebut tidak ada harapan untuk sembuh atau hidup.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, suami sebagai kepala rumah tangga perlu dilibatkan. Keputusan masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi umumnya suami harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri dan anak-anaknya sebelum mengambil keputusan.
Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga suku Tapanuli adalah :
ü Mengenal Masalah Kesehatan Keluarga
Menurut perspektif Tapanuli seseorang dikatakan sakit apabila tidak dapat beraktivitas. Ada 2 jenis penyakit:
-       penyakit yang disebabkan oleh virus atau kuman penyakit, ditandai dengan gejala-gejala seperti kurang lesu, lemas, nafsu makan berkurang, demam
-       penyakit yang kedua adalah penyakit karena diguna-guna atau disebut ”aziturtur” misalnya penyakit ”gadam” yaitu tidak dapat disembuhkan. Hanya orang yang memiliki keahlian khusus yang dapat membedakan kedua jenis penyakit ini (Nainggolan, 2009).
ü Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga
Keputusan masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi umumnya suami harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri dan anak-anaknya sebelum mengambil keputusan. Jika keluarga mengalami keterbatasan maka keluarga meminta bantuan kepada keluarga besar atau keluarga yang masih memiliki hubungan marga (Nainggolan dan Pakpahan, 2009).
ü Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda
Perawatan kepada anggota keluarga yang sakit tergantung kepada keparahan penyakit. Selama keluarga masih mampu memberikan perawatan di rumah maka anggota keluarga tidak akan dibawa berobat. Jenis penyakit yang langsung dibawa berobat muntah mencret, batuk berat, dan jenis penyakit yang parah lainnya (Nainggolan, 2009).
ü Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
Sebelum membangun rumah langkah pertama yang dilakukan ada acara khusus yaitu pada peletakan batu pertama dipecahkan sebuah telur, dengan harapan rumah tersebut akan memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi penghuninya. Bentuk rumah pada suku Batak Toba yang berjenis rumah panggung, menandakan keluarga tersebut keluarga yang kaya, karena fungsi dari kolong rumah adalah kandang binatang ternak, jadi jika memiliki banyak ternak bentuk rumahnya seperti rumah panggung (Nainggolan, 2009).
Tetapi alasan lain mengapa bentuk rumah seperti di atas adalah untuk menghalangi hantu yang mencoba masuk dimalam hari, karena hantu dianggap tidak dapat memanjat tangga (Pakpahan, 2009).
Dalam keluarga Tapanuli atau Batak Toba tidak ada jadwal khusus dalam kebersihan, prinsipnya jika rumah atau lingkungan sekitar kotor harus dibersihkan, tetapi pada malam hari dilarang menyapu rumah ke arah pintu karena dianggap menolak rejeki yang datang (Pakpahan, 2009).
ü Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengobatan, lama-kelamaan orang Tapanuli mencari pengobatan ke tenaga kesehatan atau puskesmas terdekat.
Walaupun demikian, masih ada yang berobat ke shaman untuk mengatasi masalah kesehatan keluarga mereka, baik keluarga yang tinggal di pedalaman maupun yang berada di luar Sumatera Utara.